Putra Allah Yang Kaya
HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS (16 Juni 2019)
Ams. 8:22-31; Mzm. 8:4-5,6-7,8-9; Rm. 5:1-5; Yoh. 16:12-15
DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO
“Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yoh 16:15)
Bapak/Ibu/Sdr/i Sahabat Yesus
Minggu ini gereja di seluruh dunia merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Satu Allah Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Memulai permenungan saya akan Tritunggal Maha Kudus ini, saya teringat akan perkataan salah sorang romo dalam homilinya di Hari Raya Tritunggal Mahakudus beberapa tahun yang lalu. Romo memulai homilinya dengan mengatakan bahwa “mengurai dan menjelaskan Tritunggal Mahakudus tidaklah mudah. Memahami Tritunggal Mahakudus tidaklah mudah. Umat katolik jika ditanya atau diajak berdiskusi tentang Tritunggal Mahakudus pun ‘menghindar’”.
Lalu kalimat yang kurang lebih sama saya dengar kembali dalam homili romo yang lain saat perayaan ekaristi Hari Raya Tritunggal Mahakudus di gereja lain. Bahkan tidak jarang dulu Tritunggal Mahakudus ini menjadi bahan sindiran untuk umat Katolik, misalnya umat Katolik mempunyai tiga Allah. Namun seiring berjalannya waktu hal ini sudah sangat jarang saya dengar. Ini tidak berarti bahwa umat katolik sudah paham benar akan teologi Tritunggal Mahakudus, lalu dapat menjelaskan dengan gamblang. Saya yakin masih sangat banyak umat kita yang belum dapat menjelaskan akan Tritunggal Mahakudus ini dengan baik dan benar. Maka dari itu katekese tentang Tritunggal Mahakudus kiranya perlu terus menerus dilakukan. Bukan hanya saat pendampingan calon baptis, calon komuni pertama, calon krisma, atau saat romo homili dalam perayaan ekaristi hari raya Tritunggal Mahakudus, tetapi juga melalui media-media yang ada yang dapat kita gunakan sebagai sarana untuk berkatekese.
Bapak/Ibu/Sdr/i Sahabat Yesus
Injil yang kita dengar hari ini memberikan gambaran kepada kita tentang Tritunggal Mahakudus yang kita imani sebagai Satu Allah Tiga Pribadi. Kesatuan Allah Bapa, Allah Putra dan Roh Kudus dinyatakan oleh Tuhan Yesus “Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yoh 16:15).
Dari ayat ini saya mencoba merefleksikan tentang apa sih yang Bapa punya? Allah Bapa mempunyai segalanya, yaitu sifat-sifat Allah yang maha rahim, maha murah, maha kuasa, maha pengampun, maha kasih, dan masih banyak lagi maha-maha yang lain. Dan itu semua juga dimiliki oleh Tuhan Yesus. Selain sifat-sifat, seluruh kehendak dan rencana Allah Bapa juga menjadi kehendak dan rencana Yesus, Sang Putra. Bagi saya ini sudah menunjukkan kesatuan antara Allah Bapa dan Allah Putra yang tidak dapat terpisahkan.
Lalu setelah Tuhan Yesus wafat dan naik ke sorga, Tuhan Yesus menepati janjinya dengan mengutus Roh Kudus-Nya untuk mendampingi para murid-Nya. Sangat jelas pada ayat tersebut oleh Tuhan Yesus dinyatakan bahwa Ia (Roh Kudus) akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku (Tuhan Yesus). Jadi apa yang Roh Kudus berikan kepada para murid dan juga kita semua, semuanya datang dari Tuhan Yesus sendiri. Seluruh kehendak dan rencana Allah Bapa dan Putra juga menjadi kehendak dan rencana Roh Kudus. Ini menunjukkan kesatuan antara Allah Putra dan Roh Kudus yang juga tidak dapat dipisahkan.
Singkatnya ketiga pribadi itu satu hakekat, memiliki sifat, kehendak dan rencana yang satu dan sama yakni kasih yang menyelamatkan kita. Yang berbeda hanya tugas atau peran yang dijalankan ketiga pribadi tersebut. Allah Bapa mencipta dan menyelenggarakan, Allah Putra menebus dan menyelamatkan, Allah Roh Kudus menyemangati dan menguduskan. Dengan demikian kesatuan antara Bapa, Putra dan Roh Kudus pun tidak terpisahkan. Sebuah pendekatan yang sederhana sekali, namun bagi saya itu sudah cukup untuk mengimani Tritunggal Mahakudus.
Bapak/Ibu/Sdr/i Sahabat Yesus
Merayakan Allah Tritunggal Mahakudus menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin mengenal dan mengimani Allah yang satu yang mewujud dalam tiga pribadi dengan tugas atau peran masing-masing. Kita juga diajak untuk bersyukur atas pemberian Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang satu yakni kasih yang menyelamatkan kita. Pemberian itu mengundang tanggapan kita untuk menerimanya, mengimaninya dan terus menerus membangun kedekatan, bahkan kesatuan dengan kehendak dan rencana keselamatan Allah Tritunggal. Kita selaraskan hidup kita dengan sifat, kehendak dan rencana Allah itu. Kesatuan Allah Tritunggal juga mendorong kita untuk membangun kesatuan hidup dengan gereja dan bekerjasama dengan Allah Tritunggal dalam menghadirkan keselamatan di tengah dunia. Apakah kita sudah membangun kesatuan dengan Allah Tritunggal dan gereja dalam hidup dan tugas pelayanan kita masing-masing?
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu
Tagged as: Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus, Allah Tritunggal Mahakudus, Gereja, kasih, kesatuan, keselamatan, pribadi, Tritunggal
Allah Tritunggal–Hubungan Bapa, Putra, Roh
SUATU hari, ada seorang pemuda yang pandai dan terampil di sebuah sekolah. Ia selalu mendapat nilai tinggi dalam semua mata pelajaran. Berbagai keterampilan dan ekstrakurikuler pun dengan mudah dipelajarinya. Akan tetapi, salah satu kelemahannya adalah tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merupakan tipe orang yang suka menyendiri dan bekerja sendiri. Dengan segala kemampuannya, ia yakin dapat sukses dalam segala hal. Hingga pada suatu hari, seorang guru memberi tugas kelompok. Teman-temannya tidak ada yang ingin sekelompok dengan pemuda tersebut. Ia tidak menghiraukan dan tetap mengerjakan tugas itu sendiri. Pada akhirnya, tugas si pemuda tersebut tidak mendapat nilai karena tidak sesuai dengan instruksi guru.
Dalam Injil hari ini, Yesus berbicara tentang kaya-miskin. Yesus secara tegas membandingkan antara miskin dan kaya. Yang miskin akan berbahagia karena mempunyai Kerajaan Allah, sedangkan yang kaya akan celaka karena telah memperoleh hiburan sebelumnya. Yesus menyangkutpautkan hal ini dengan akhir zaman, bahwa orang miskin karena menderita selama hidupnya di dunia akan bahagia pada akhir zaman. Sebaliknya, orang kaya, karena sudah bahagia selama hidupnya di dunia, akan menderita pada akhir zaman.
Pernyataan Yesus tidak berarti bahwa Ia membenci orang kaya dan hanya berpihak pada orang miskin. Tentunya tidak salah ketika orang menjadi kaya dengan usahanya sendiri yang jujur, dan justru menjadi salah, ketika orang menjadi miskin karena malas. Akan tetapi, perkataan Yesus tentang miskin dan kaya bukan soal benar dan salah, dan bukan juga soal materi. Jika hanya soal materi, maka soal miskin dan kaya bersifat relatif; tergantung dari sudut pandang apa dan dibandingkan dengan siapa. Orang yang memiliki sebuah mobil dianggap lebih kaya daripada orang yang memiliki motor, namun dapat dianggap juga lebih miskin daripada orang yang memiliki banyak mobil mewah.
Lebih dari itu, soal miskin dan kaya adalah soal hati yang terbuka pada belas kasih Allah. Orang miskin yang dimaksud Yesus adalah orang yang selalu menantikan dan berharap akan belas kasih Allah, sehingga berpegang teguh pada Allah. Di sisi lain, orang kaya adalah orang yang sudah merasa cukup akan segala hal sehingga tidak menantikan apa-apa, termasuk tidak berharap akan belas kasih Allah.
Sama seperti kisah di atas, si pemuda merasa sudah hebat dalam segala hal sehingga menjadi sombong dan yakin dapat mengerjakan semua hal tanpa bantuan orang lain. Singkat kata, orang miskin adalah orang yang selalu membutuhkan rahmat Allah dalam setiap langkah hidupnya, sedangkan orang kaya adalah orang yang sombong dan congkak karena merasa dirinya sudah memiliki segala hal, sehingga tidak membutuhkan Allah lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari, situasi miskin-kaya menjadi pilihan bagi kita. Situasi miskin-kaya tidak hanya menyangkut akhir zaman. Segala usaha dan kegiatan kita di dunia ini pun menjadi sarana untuk mendapatkan rahmat Allah. Rahmat Allah dapat memiliki banyak bentuk, dan selalu cukup bagi kita.
Sekarang, dengan situasi kondisi hidup saat ini kita dapat bertanya pada diri sendiri bagaimana sikap hati kita kepada Allah. Apakah kita sudah terbuka akan belas kasih Allah? Apakah kita masih keras kepala dan memaksakan kehendak pribadi? Semoga kita dapat merasa miskin di hadapan Allah, lalu semakin dapat membuka hati kepada Allah dalam doa-doa dan kegiatan kita. (Fr. Ignatius Bahtiar)
Bapa yang baik, kami bersyukur bahwa Engkau selalu memelihara hidup dan mendampingi kami dalam setiap situasi. Bukalah hati kami agar selalu menggantungkan harapan hanya padaMu dan bukan kemampuan diri kami sendiri. Amin.
Semua datang dari tahta-Mu
Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus
Istilah ”Putra Allah” khususnya memaksudkan Kristus Yesus. Pribadi-pribadi lain yang juga disebut ”putra(-putra) Allah” mencakup makhluk-makhluk roh yang cerdas ciptaan Allah, manusia Adam sebelum ia berdosa, dan manusia-manusia yang dengannya Allah telah berurusan berdasarkan hubungan perjanjian.
”Putra-Putra dari Allah yang Benar.” Istilah ”putra-putra dari Allah yang benar” pertama kali disebutkan di Kejadian 6:2-4. Di ayat-ayat itu, putra-putra tersebut dikatakan ”mulai memperhatikan bahwa anak-anak perempuan manusia itu elok parasnya; lalu mereka mengambil istri-istri, yaitu semua yang mereka pilih”; peristiwa itu terjadi sebelum Air Bah sedunia.
Banyak komentator mengatakan bahwa ’putra-putra Allah’ ini adalah manusia, bahwa sebenarnya mereka adalah pria-pria keturunan Set. Mereka mendasarkan argumen mereka pada fakta bahwa Nuh yang saleh adalah keturunan Set, sedangkan keturunan lain dari Adam, yakni keturunan Kain dan putra-putra lain yang diperanakkan bagi Adam (Kej 5:3, 4), dibinasakan sewaktu Air Bah. Jadi, mereka mengatakan bahwa diambilnya ”anak-anak perempuan manusia” sebagai istri oleh ”putra-putra dari Allah yang benar” memaksudkan bahwa keturunan Set mulai menikahi keturunan Kain yang fasik.
Namun, tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa Allah membuat pembedaan semacam itu di antara keturunan-keturunan keluarga pada tahap ini. Tidak ada bukti Alkitab yang meneguhkan atau mendukung pandangan bahwa yang dimaksud di sini adalah perkawinan campur antara keturunan Set dan Kain, atau bahwa perkawinan semacam itulah yang menghasilkan kelahiran ”orang-orang perkasa” yang disebutkan di ayat 4. Memang benar bahwa istilah ”putra-putra manusia” (yang akan dikontraskan dengan istilah ’putra-putra Allah’ oleh para komentator yang menganut pandangan yang disebutkan sebelumnya) sering kali digunakan dalam makna yang negatif, tetapi halnya tidak selalu demikian.—Bdk. Mz 4:2; 57:4; Ams 8:22, 30, 31; Yer 32:18, 19; Dan 10:16.
Para malaikat. Di pihak lain, ada penjelasan yang diteguhkan oleh bukti-bukti Alkitab. Istilah ”putra-putra dari Allah yang benar” berikutnya muncul di Ayub 1:6, dan di sini jelas memaksudkan putra-putra rohani Allah yang berkumpul di hadirat Allah, termasuk juga di antaranya Setan, yang telah ”menjelajahi bumi”. (Ayb 1:7; lihat juga 2:1, 2.) Sekali lagi di Ayub 38:4-7, ’putra-putra Allah’ yang ”bersorak menyatakan pujian” ketika Allah ’meletakkan batu penjuru’ bumi jelas adalah para malaikat, bukan manusia keturunan Adam (yang saat itu bahkan belum diciptakan). Demikian pula, di Mazmur 89:6, ”putra-putra Allah” pasti adalah makhluk-makhluk di surga, bukan di bumi.—Lihat ALLAH (Kata-Kata Ibrani).
Pengidentifikasian ”putra-putra dari Allah yang benar” di Kejadian 6:2-4 sebagai para malaikat disanggah oleh orang-orang yang menganut pandangan yang disebutkan sebelumnya karena menurut mereka konteksnya semata-mata berkaitan dengan kefasikan manusia. Namun, sanggahan ini tidak beralasan karena sangat besar kemungkinan bahwa campur tangan yang tidak sah dari makhluk-makhluk roh dalam urusan manusia dapat mendukung atau mempercepat pertumbuhan kefasikan manusia. Makhluk-makhluk roh yang fasik pada zaman Yesus di bumi, meskipun saat itu tidak menjelma dalam wujud yang kasatmata, bertanggung jawab atas perilaku salah manusia yang sifatnya ekstrem. (Lihat HANTU; KERASUKAN HANTU.) Kisah tentang campur tangan para malaikat dalam urusan manusia secara masuk akal ada dalam catatan buku Kejadian justru karena hal itu menjelaskan secara gamblang parahnya situasi yang telah berkembang di bumi sebelum Air Bah.
Hal ini didukung oleh rujukan rasul Petrus tentang ”roh-roh dalam penjara, yang dahulu tidak taat ketika Allah menunggu dengan sabar pada zaman Nuh” (1Ptr 3:19, 20), dan tentang ”malaikat-malaikat yang berbuat dosa”, yang disebutkan sehubungan dengan ”dunia zaman purba” pada zaman Nuh (2Ptr 2:4, 5), serta pernyataan Yudas tentang ”malaikat-malaikat yang tidak mempertahankan kedudukan mereka yang semula tetapi meninggalkan tempat tinggal mereka sendiri yang cocok”. (Yud 6) Jika ada bantahan bahwa ”putra-putra dari Allah yang benar” dalam Kejadian 6:2-4 adalah makhluk-makhluk roh, pernyataan para penulis Kristen ini menjadi kabur, tanpa penjelasan apa pun tentang bagaimana para malaikat ini sampai memberontak, atau hubungannya yang sebenarnya dengan zaman Nuh.
Tidak diragukan bahwa dalam beberapa peristiwa, para malaikat menjelma dalam tubuh manusia, bahkan makan dan minum bersama manusia. (Kej 18:1-22; 19:1-3) Pernyataan Yesus bahwa pria dan wanita yang dibangkitkan tidak menikah atau dinikahkan tetapi menjadi seperti ”malaikat di surga” memperlihatkan bahwa tidak ada perkawinan antara makhluk-makhluk surgawi tersebut, tidak ada petunjuk adanya pembedaan pria dan wanita di antara mereka. (Mat 22:30) Tetapi hal ini tidak berarti bahwa para malaikat tidak dapat menjelma dalam wujud manusia dan memasuki hubungan perkawinan dengan wanita di bumi. Hendaknya diperhatikan bahwa pernyataan Yudas tentang para malaikat yang tidak mempertahankan kedudukan mereka yang semula tetapi meninggalkan ”tempat tinggal mereka sendiri yang cocok” (pastilah di sini memaksudkan meninggalkan alam roh) langsung diikuti pernyataan, ”Demikian pula Sodom dan Gomora dan kota-kota di sekelilingnya, setelah dengan cara yang sama seperti mereka yang disebut terdahulu melakukan percabulan secara berlebihan dan mengejar daging untuk digunakan berlawanan dengan kebiasaan yang alami, . . . ditaruh di hadapan kita sebagai contoh peringatan.” (Yud 6, 7) Dengan demikian, gabungan bukti-bukti Alkitab menunjukkan bahwa pada zaman Nuh ada malaikat-malaikat yang menyimpang, yakni melakukan tindakan yang bertentangan dengan kodrat mereka sebagai makhluk roh. Maka tampaknya tidak ada alasan yang sah untuk meragukan bahwa ’putra-putra Allah’ di Kejadian 6:2-4 adalah para malaikat.—Lihat NEFILIM.
Putra Manusia yang Pertama dan Keturunannya. Adam adalah manusia pertama yang menjadi ”putra Allah” berdasarkan fakta bahwa ia diciptakan oleh Allah. (Kej 2:7; Luk 3:38) Sewaktu ia divonis mati sebagai pedosa yang sengaja dan diusir dari tempat suci Allah di Eden, ia sebenarnya ditolak oleh Allah dan kehilangan hubungan sebagai putra dengan Bapak surgawinya.—Kej 3:17-24.
Keturunannya terlahir mewarisi kecenderungan untuk berdosa. (Lihat DOSA.) Mengingat mereka lahir dari pribadi yang ditolak Allah, keturunan Adam tidak dapat mengaku memiliki hubungan sebagai putra Allah semata-mata berdasarkan kelahiran. Hal ini ditunjukkan oleh kata-kata rasul Yohanes di Yohanes 1:12, 13. Ia memperlihatkan bahwa orang yang menerima Kristus Yesus dengan memperlihatkan iman akan namanya, diberi ”hak untuk menjadi anak-anak Allah, . . . [karena] dilahirkan, bukan dari darah atau dari kehendak daging atau dari kehendak manusia, tetapi dari Allah”. Oleh sebab itu, semua keturunan Adam tidak secara otomatis dianggap sebagai putra Allah sejak lahir. Ayat ini dan ayat-ayat lain memperlihatkan bahwa, sejak Adam jatuh ke dalam dosa, dibutuhkan semacam pengakuan khusus dari Allah agar manusia dianggap sebagai ”putra-putra”-Nya. Hal ini diilustrasikan dalam cara Ia berurusan dengan Israel.
”Israel Adalah Putraku.” Kepada Firaun, yang menganggap dirinya sebagai allah dan putra dewa Mesir bernama Ra, Yehuwa menyebut Israel sebagai ”putraku, anak sulungku”, dan mendesak penguasa Mesir itu agar ’membiarkan putraku pergi agar dia melayani aku’. (Kel 4:22, 23) Jadi, seluruh bangsa Israel dianggap oleh Allah sebagai ’putra’-Nya karena mereka adalah umat pilihan-Nya, suatu ”milik yang istimewa, dari antara segala bangsa”. (Ul 14:1, 2) Bukan saja karena Yehuwa adalah Sumber segala kehidupan, melainkan secara lebih spesifik karena Allah telah, selaras dengan perjanjian Abraham, menghasilkan umat ini, maka Ia disebut ’Pencipta’, ’Pembentuk’, dan ”Bapak” mereka, Pribadi yang dengan nama-Nya mereka disebut. (Bdk. Mz 95:6, 7; 100:3; Yes 43:1-7, 15; 45:11, 12, 18, 19; 63:16.) Ia telah ’menolong mereka bahkan sejak dari kandungan’, tampaknya memaksudkan awal mula perkembangan mereka sebagai suatu bangsa, dan Ia ’membentuk’ mereka melalui cara Ia berurusan dengan mereka dan melalui perjanjian Hukum, membentuk karakteristik dan struktur nasionalnya. (Yes 44:1, 2, 21; bandingkan dengan pernyataan Allah kepada Yerusalem di Yeh 16:1-14; juga pernyataan Paulus di Gal 4:19 dan 1Tes 2:11, 12.) Yehuwa melindungi, mendukung, mengoreksi, dan menyediakan kebutuhan mereka seperti yang dilakukan seorang bapak kepada putranya. (Ul 1:30, 31; 8:5-9; bdk. Yes 49:14, 15.) Sebagai ”putra”, bangsa itu seharusnya melayani demi kepujian Bapaknya. (Yes 43:21; Mal 1:6) Kalau tidak, Israel akan mengingkari kedudukannya sebagai putra (Ul 32:4-6, 18-20; Yes 1:2, 3; 30:1, 2, 9), sebagaimana beberapa orang Israel bertindak dengan cara yang nista dan disebut ”putra-putra belial” (istilah harfiah Ibrani yang diterjemahkan menjadi ”pria-pria yang tidak berguna” di Ul 13:13 dan ayat-ayat lain; bdk. 2Kor 6:15). Mereka menjadi ”putra-putra yang membelot”.—Yer 3:14, 22; bdk. 4:22.
Dalam pengertian sebagai suatu bangsa inilah, dan karena hubungan perjanjian mereka, Allah berurusan dengan orang Israel sebagai putra. Hal ini terlihat dari fakta bahwa Allah menyebut diri-Nya tidak hanya sebagai ’Pembuat’ mereka, tetapi pada waktu yang sama juga menyebut diri-Nya sebagai ”Pribadi yang Membelimu Kembali” dan bahkan sebagai ’pemilik dan suami’ mereka; istilah ini menyatakan bahwa Israel berada dalam hubungan sebagai istri-Nya. (Yes 54:5, 6; bdk. Yes 63:8; Yer 3:14.) Tampaknya bangsa Israel menyebut Yehuwa sebagai ”Bapak kami” mengingat mereka berada dalam hubungan perjanjian dengan Allah dan mengakui Dia sebagai Pribadi yang membentuk bangsa mereka.—Yes 63:16-19; bdk. Yer 3:18-20; Hos 1:10, 11.
Suku Efraim menjadi suku yang paling terkemuka di kerajaan utara sepuluh suku, sehingga namanya sering kali mewakili seluruh kerajaan itu. Karena Yehuwa memilih agar Efraim yang menerima berkat anak sulung dari kakeknya, Yakub, dan bukan Manasye, anak sulung Yusuf yang sebenarnya, Yehuwa dengan tepat menyebut suku Efraim sebagai ”anak sulungku”.—Yer 31:9, 20; Hos 11:1-8, 12; bdk. Kej 48:13-20.
’Putra-putra’ Israel secara individu. Allah juga menyebut orang-orang tertentu di kalangan orang Israel sebagai ’putra-putra’-Nya, dalam pengertian yang istimewa. Mazmur 2, yang menurut Kisah 4:24-26 ditulis oleh Daud, tampaknya mula-mula berlaku untuk dirinya sewaktu berbicara tentang ’putra’ Allah. (Mz 2:1, 2, 7-12) Mazmur itu belakangan tergenap dalam diri Kristus Yesus, sebagaimana diperlihatkan oleh konteks di buku Kisah. Konteks di mazmur memperlihatkan bahwa Allah berbicara, bukan kepada seorang bayi, melainkan kepada seorang pria dewasa, dengan mengatakan, ”Engkaulah putraku; aku, hari ini, aku telah menjadi bapakmu,” maka masuknya Daud ke dalam kedudukan sebagai putra tersebut merupakan hasil pilihan khusus Allah atas dirinya untuk menjabat sebagai raja dan hasil cara Allah berurusan sebagai bapak dengannya. (Bdk. Mz 89:3, 19-27.) Dengan cara serupa Yehuwa berfirman tentang Salomo, putra Daud, ”Aku sendiri akan menjadi bapaknya, dan dia pun akan menjadi putraku.”—2Sam 7:12-14; 1Taw 22:10; 28:6.
Kehilangan kedudukan sebagai putra. Sewaktu Yesus berada di bumi, orang Yahudi masih mengakui Allah sebagai ”Bapak” mereka. Tetapi Yesus dengan blak-blakan memberi tahu beberapa penentangnya bahwa mereka ’berasal dari bapak mereka, si Iblis’, karena mereka mendengarkan serta melakukan kehendak dan pekerjaan Musuh Allah; dengan demikian, mereka memperlihatkan bahwa mereka ”bukan berasal dari Allah”. (Yoh 8:41, 44, 47) Sekali lagi, hal ini memperlihatkan bahwa kedudukan sebagai putra Allah di pihak keturunan Adam tidak semata-mata bergantung pada garis keturunan jasmani, tetapi terutama pada persediaan Allah berupa hubungan rohani dengan Dia, dan bahwa hubungan semacam itu selanjutnya mengharuskan ’putra-putra’ tersebut memelihara iman akan Allah dengan memanifestasikan sifat-sifat-Nya, menaati kehendak-Nya, dan dengan setia melayani maksud-tujuan serta kepentingan-Nya.
Putra Allah Berupa Orang-Orang Kristen. Sebagaimana diperjelas oleh Yohanes 1:11, 12, hanya sebagian dari bangsa Israel, yaitu orang-orang yang memperlihatkan iman akan Kristus Yesus, yang dikaruniai ”hak untuk menjadi anak-anak Allah”. Korban tebusan Kristus membawa ”sisa” orang Yahudi ini (Rm 9:27; 11:5) keluar dari perjanjian Hukum, yang, meskipun bagus dan sempurna, menghukum mereka sebagai pedosa, sebagai budak di bawah tahanan dosa; dengan demikian, Kristus membebaskan mereka sehingga mereka dapat ”diangkat menjadi putra” dan dijadikan ahli waris oleh Allah.—Gal 4:1-7; bdk. Gal 3:19-26.
Orang dari bangsa-bangsa, yang sebelumnya ”tanpa Allah dalam dunia ini” (Ef 2:12), juga dirukunkan kembali dengan Allah melalui iman akan Kristus dan memasuki hubungan sebagai putra.—Rm 9:8, 25, 26; Gal 3:26-29.
Seperti halnya Israel, orang-orang Kristen ini membentuk suatu umat perjanjian, dibawa ke dalam ”perjanjian baru” yang disahkan melalui penggunaan darah Kristus yang dicurahkan. (Luk 22:20; Ibr 9:15) Namun, sewaktu Allah menerima orang Kristen ke dalam perjanjian itu, Ia berurusan dengan mereka secara perorangan. Karena mereka mendengarkan kabar baik dan memperlihatkan iman, mereka dipanggil untuk menjadi ahli waris bersama Putra Allah (Rm 8:17; Ibr 3:1), ”dinyatakan adil-benar” oleh Allah atas dasar iman mereka akan tebusan (Rm 5:1, 2), dan dengan demikian ’dihasilkan melalui firman kebenaran’ (Yak 1:18), ”dilahirkan kembali” sebagai orang Kristen yang terbaptis, diperanakkan atau dihasilkan melalui roh Allah sebagai putra-putra-Nya, yang akan menikmati kehidupan sebagai roh di surga (Yoh 3:3; 1Ptr 1:3, 4). Mereka telah menerima, bukan perasaan batin sebagai budak akibat pelanggaran Adam, melainkan ”perasaan batin sebagai orang yang telah diangkat menjadi putra, dengan perasaan batin itulah [mereka] berseru, ’Abba, Bapak!’”; kata ”Abba” merupakan panggilan yang akrab dan penuh kasih sayang. (Rm 8:14-17; lihat ABBA; ANGKAT ANAK [Makna dalam Kekristenan].) Berkat kedudukan Kristus yang unggul sebagai perantara dan imam, serta kebaikan hati Allah yang tidak selayaknya diperoleh yang dinyatakan melalui dia, kedudukan sebagai putra yang dimiliki orang-orang Kristen yang diperanakkan oleh roh ini merupakan hubungan dengan Allah yang lebih akrab dibandingkan dengan hubungan yang dinikmati Israel jasmani.—Ibr 4:14-16; 7:19-25; 12:18-24.
Mempertahankan kedudukan sebagai putra. ’Dilahirkannya kembali’ mereka kepada harapan yang hidup ini (1Ptr 1:3) tidak dengan sendirinya menjamin kelanjutan kedudukan mereka sebagai putra. Mereka harus ”dipimpin oleh roh Allah”, bukan oleh daging mereka yang berdosa, dan mereka harus rela menderita seperti halnya Kristus. (Rm 8:12-14, 17) Mereka harus menjadi ”peniru Allah, sebagai anak-anak yang dikasihi” (Ef 5:1), mencerminkan sifat-sifat Allah seperti suka damai, kasih, belas kasihan, kebaikan hati (Mat 5:9, 44, 45; Luk 6:35, 36), ”tidak bercela dan polos” dalam hal-hal yang mencirikan ”generasi yang bengkok dan belat-belit”, yang di antaranya mereka hidup (Flp 2:15), memurnikan diri dari praktek-praktek yang tidak adil-benar (1Yoh 3:1-4, 9, 10), menaati perintah-perintah Allah, dan menerima disiplin-Nya (1Yoh 5:1-3; Ibr 12:5-7).
Memperoleh pengangkatan penuh menjadi putra. Meskipun dipanggil untuk menjadi anak-anak Allah, sewaktu masih dalam wujud manusia mereka hanya memiliki ”tanda untuk apa yang akan datang”. (2Kor 1:22; 5:1-5; Ef 1:5, 13, 14) Itulah sebabnya sang rasul, meskipun mengatakan bahwa dirinya dan rekan-rekan Kristennya sudah menjadi ”putra-putra Allah”, dapat mengatakan bahwa ”kita sendiri juga, yang mempunyai buah sulung, yakni roh, ya, kita sendiri mengerang dalam diri kita, sementara kita dengan sungguh-sungguh menunggu pengangkatan menjadi putra, kelepasan dari tubuh kita melalui tebusan”. (Rm 8:14, 23) Oleh karena itu, setelah menaklukkan dunia melalui kesetiaan hingga mati, mereka menerima perwujudan sepenuhnya dari kedudukan mereka sebagai putra dengan dibangkitkan menjadi putra rohani Allah dan ”saudara” Putra Utama Allah, Kristus Yesus.—Ibr 2:10-17; Pny 21:7; bdk. Pny 2:7, 11, 26, 27; 3:12, 21.
Mereka yang adalah anak-anak rohani Allah, yang mendapat panggilan surgawi ini, mengetahui bahwa mereka adalah anak karena ’roh Allah sendiri memberikan kesaksian bersama roh mereka bahwa mereka adalah anak-anak Allah’. (Rm 8:16) Tampaknya hal ini memaksudkan bahwa perasaan batin mereka bertindak sebagai daya penggerak dalam kehidupan mereka, menggugah mereka untuk memberikan sambutan positif terhadap pernyataan roh Allah melalui Firman-Nya yang terilham dalam berbicara tentang harapan surgawi tersebut dan juga terhadap cara Ia berurusan dengan mereka melalui roh itu. Dengan demikian, mereka memiliki jaminan bahwa mereka memang adalah anak-anak rohani dan ahli waris Allah.
Kemerdekaan yang Mulia sebagai Anak-Anak Allah. Sang rasul berbicara tentang ”kemuliaan yang akan disingkapkan kepada kita” dan juga tentang ’penantian penuh kerinduan dari ciptaan yang menunggu disingkapkannya putra-putra Allah’. (Rm 8:18, 19) Karena kemuliaan putra-putra ini bersifat surgawi, jelaslah bahwa ’penyingkapan’ kemuliaan mereka pastilah didahului oleh kebangkitan mereka kepada kehidupan surgawi. (Bdk. Rm 8:23.) Akan tetapi, 2 Tesalonika 1:6-10 menunjukkan bahwa bukan ini saja yang tercakup; ayat itu berbicara tentang saat ”Tuan Yesus disingkapkan” untuk mendatangkan hukuman pengadilan atas orang-orang yang mendapat vonis bersalah oleh Allah, yang ia lakukan ”pada waktu ia datang untuk dimuliakan sehubungan dengan orang-orang kudusnya”.—Lihat PENYINGKAPAN.
Karena Paulus mengatakan bahwa ”ciptaan” menunggu penyingkapan itu, dan kemudian akan ”dimerdekakan dari keadaan sebagai budak kefanaan dan akan mendapat kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah”, jelaslah bahwa orang-orang selain ”putra-putra [surgawi] Allah” itu menerima manfaat dari penyingkapan mereka dalam kemuliaan. (Rm 8:19-23) Istilah Yunani yang diterjemahkan ”ciptaan” dapat memaksudkan makhluk apa pun, manusia atau binatang, atau memaksudkan ciptaan secara umum. Di ayat-ayat ini Paulus mengatakan bahwa ciptaan itu berada dalam ”penantian yang penuh kerinduan”, ”menunggu”, ”ditundukkan kepada kesia-siaan, [meskipun] bukan oleh kehendaknya sendiri”, ”dimerdekakan dari keadaan sebagai budak kefanaan [agar] mendapat kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah”, dan ”sama-sama terus mengerang” seperti ”putra-putra” Kristen mengerang dalam diri mereka; semua pernyataan tersebut dengan tandas menunjuk kepada ciptaan berupa manusia, keluarga manusia, jadi bukan kepada ciptaan secara umum, termasuk binatang, tumbuh-tumbuhan, dan ciptaan lainnya, yang bernyawa dan yang tidak. (Bdk. Kol 1:23.) Maka pastilah disingkapkannya putra-putra Allah dalam kemuliaan membuka jalan bagi anggota-anggota lain dari keluarga manusia untuk memasuki hubungan dengan Allah sebagai putra yang sebenarnya dan untuk menikmati kemerdekaan yang menyertai hubungan demikian.—Lihat ADIL-BENAR, NYATAKAN (Orang-Orang Lain yang Adil-Benar); KUMPULAN BESAR.
Karena Kristus Yesus adalah pribadi yang dinubuatkan menjadi ”Bapak yang Kekal” (Yes 9:6) dan karena orang Kristen ”putra-putra Allah” menjadi ”saudara”-nya (Rm 8:29), dengan sendirinya harus ada anggota-anggota lain dari keluarga manusia yang memperoleh kehidupan melalui Kristus Yesus dan yang adalah, bukan sesama ahli warisnya dan rekan raja dan imam, melainkan orang-orang yang menjadi rakyatnya.—Bdk. Mat 25:34-40; Ibr 2:10-12; Pny 5:9, 10; 7:9, 10, 14-17; 20:4-9; 21:1-4.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa menurut Yakobus (1:18) ”putra-putra Allah” yang diperanakkan roh ini adalah ”buah sulung tertentu” dari makhluk-makhluk ciptaan Allah, suatu pernyataan yang mirip dengan istilah yang digunakan untuk ke-”seratus empat puluh empat ribu” yang ”dibeli dari antara umat manusia” sebagaimana diuraikan di Penyingkapan 14:1-4. ”Buah sulung” menyiratkan bahwa ada buah-buah lain, maka ”ciptaan” di Roma 8:19-22 jelas berlaku untuk ’buah selanjutnya’ atau ’buah kedua’ dari antara umat manusia yang, melalui iman kepada Kristus Yesus, pada akhirnya memperoleh kedudukan sebagai putra dalam keluarga universal Allah.
Sewaktu berbicara tentang ”sistem” yang akan datang itu dan ”kebangkitan dari antara orang mati” kepada kehidupan dalam sistem tersebut, Yesus mengatakan bahwa mereka ini menjadi ”anak-anak Allah dengan menjadi anak-anak kebangkitan”.—Luk 20:34-36.
Dari semua informasi di atas, kita dapat melihat bahwa ’kedudukan sebagai putra’ yang dinikmati manusia dalam hubungan dengan Allah dipandang dari berbagai segi. Maka, dalam setiap kasus, kedudukan sebagai putra harus dipandang menurut konteksnya untuk menentukan apa yang tercakup dan apa persisnya yang dimaksud dengan hubungan keluarga tersebut.
Kristus Yesus, Putra Allah. Catatan Injil oleh Yohanes khususnya menegaskan eksistensi pramanusia Yesus sebagai ”Firman itu” dan menjelaskan bahwa ”Firman itu menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaannya, kemuliaan seperti yang dimiliki satu-satunya putra yang diperanakkan dari seorang bapak”. (Yoh 1:1-3, 14) Bahwa kedudukannya sebagai putra tidak dimulai sewaktu ia lahir sebagai manusia jelas dari pernyataan-pernyataan Yesus sendiri, seperti ketika ia berkata, ”Apa yang telah aku lihat pada Bapakku aku katakan” (Yoh 8:38, 42; bdk. Yoh 17:5, 24), dan juga dari pernyataan-pernyataan jelas lainnya yang diucapkan para rasulnya yang terilham.—Rm 8:3; Gal 4:4; 1Yoh 4:9-11, 14.
”Satu-satunya yang diperanakkan.” Beberapa komentator berkeberatan dengan terjemahan kata Yunani mo·no·ge·nesʹ menjadi ”satu-satunya yang diperanakkan”. Mereka mengemukakan bahwa bagian akhir kata tersebut (ge·nesʹ) tidak berasal dari kata gen·naʹo (diperanakkan) tetapi dari kata geʹnos (jenis), sehingga istilah itu memaksudkan ’satu-satunya dari suatu golongan atau jenis’. Maka banyak terjemahan menyebut Yesus sebagai ”Anak Tunggal” (TL; TB; BIS; RS; AT; JB) dan bukan ”putra satu-satunya yang diperanakkan” Allah. (Yoh 1:14; 3:16, 18; 1Yoh 4:9) Akan tetapi, meskipun setiap komponen kata itu tidak mencakup makna lisan berupa gagasan dilahirkan, penggunaan istilah itu jelas-jelas mengandung gagasan keturunan atau kelahiran, karena kata Yunani geʹnos berarti ”asal usul; kerabat; keturunan; ras”. Kata itu diterjemahkan ”ras” dalam 1 Petrus 2:9. Vulgata Latin karya Yerome menerjemahkan mo·no·ge·nesʹ menjadi unigenitus, yang artinya ”satu-satunya yang diperanakkan” atau ”tunggal”. Kaitan istilah tersebut dengan kelahiran atau keturunan diakui oleh banyak leksikograf.
Greek and English Lexicon of the New Testament (1885, hlm. 471) karya Edward Robinson mendefinisikan mo·no·ge·nesʹ sebagai: ”satu-satunya yang dilahirkan, satu-satunya yang diperanakkan, yaitu anak tunggal”. Greek-English Lexicon to the New Testament karya W. Hickie (1956, hlm. 123) juga menerjemahkannya menjadi ”satu-satunya yang diperanakkan”. Theological Dictionary of the New Testament, yang diedit oleh G. Kittel, menyatakan, ”Kata μονο- [mo·no-] tidak menunjuk kepada sumbernya tetapi kepada sifat asalnya. Maka kata μονογενής [mo·no·ge·nesʹ] berarti ’satu-satunya keturunan’, yaitu tanpa saudara lelaki atau perempuan. Dengan demikian memberi kita makna satu-satunya yang diperanakkan. Referensinya adalah kepada anak tunggal dari orang tuanya, khususnya dalam hubungan dengan mereka. . . . Namun, kata itu juga dapat digunakan secara lebih umum tanpa memaksudkan asal usul dalam arti ’unik’, ’tidak ada duanya’, ’tidak ada tandingannya’, meskipun kita hendaknya tidak menyamakan sebutan-sebutan itu dengan golongan atau spesies dan dengan caranya.”—Penerjemah dan editor, G. Bromiley, 1969, Jil. IV, hlm. 738.
Mengenai penggunaan istilah dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen atau ”Perjanjian Baru”, menurut karya yang disebutkan belakangan (hlm. 739-741), ”Arti kata itu adalah ’satu-satunya yang diperanakkan’. . . . Di [Yohanes] 3:16, 18; 1 Yoh. 4:9; [Yohanes] 1:18 hubungan Yesus tidak saja disamakan dengan hubungan seorang anak tunggal dengan bapaknya. Itu memang adalah hubungan antara satu-satunya yang diperanakkan dengan sang Bapak. . . . Di Yoh. 1:14, 18; 3:16, 18; 1 Yoh. 4:9, μονογενής menunjukkan lebih dari keunikan atau keadaan Yesus yang tak tertandingi. Dalam semua ayat itu Ia dengan tegas disebut sang Putra, dan Ia dianggap demikian di 1:14. Di Yoh., kata μονογενής menunjukkan asal usul Yesus. Ia adalah μονογενής sebagai satu-satunya yang diperanakkan.”
Mengingat pernyataan-pernyataan tersebut dan mengingat bukti yang jelas dari Tulisan-Tulisan Kudus itu sendiri, tidak ada alasan untuk berkeberatan dengan terjemahan-terjemahan yang memperlihatkan bahwa Yesus bukan hanya Putra Allah yang unik atau tidak tertandingi melainkan juga adalah ”Putra satu-satunya yang diperanakkan”, dengan demikian adalah keturunan dari Allah dalam arti dihasilkan oleh Allah. Hal itu diteguhkan oleh sebutan para rasul kepada Putra ini sebagai ”yang sulung dari antara semua ciptaan” dan sebagai ”Pribadi yang lahir [bentukan kata gen·naʹo] dari Allah” (Kol 1:15; 1Yoh 5:18), sedangkan Yesus sendiri menyatakan bahwa ia adalah ”awal dari ciptaan Allah”.—Pny 3:14.
Yesus adalah ’anak sulung’ Allah (Kol 1:15) sebagai ciptaan pertama Allah, yang dalam eksistensi pramanusianya disebut ”Firman itu”. (Yoh 1:1) Ungkapan ”pada mulanya” di Yohanes 1:1 pasti tidak memaksudkan ’permulaan’ Allah, sang Pencipta, karena Dia kekal dan tidak memiliki permulaan. (Mz 90:2) Oleh karena itu, yang dimaksud pastilah permulaan ciptaan, ketika Firman itu dihasilkan oleh Allah sebagai Putra sulung-Nya. Istilah ’permulaan’, ”semula”, dan ”awal” digunakan dengan cara yang sama dalam berbagai ayat lainnya untuk menggambarkan dimulainya suatu periode atau karier atau haluan, seperti ”awal” karier para penerima surat pertama Yohanes sebagai orang Kristen (1Yoh 2:7; 3:11), ”awal” haluan pemberontakan Setan (1Yoh 3:8), atau ’permulaan’ penyimpangan Yudas dari keadilbenaran. (Yoh 6:64; lihat YUDAS No. 4 [Menjadi Rusak].) Yesus adalah ”Putra satu-satunya yang diperanakkan” (Yoh 3:16) dalam arti bahwa ia adalah satu-satunya di antara putra-putra Allah, roh atau manusia, yang diciptakan oleh Allah sendiri, karena semua makhluk lainnya diciptakan ”melalui” Putra sulung itu.—Kol 1:16, 17; lihat SATU-SATUNYA YANG DIPERANAKKAN; YESUS KRISTUS (Eksistensi Pramanusia).
Diperanakkan roh, kembali kepada kedudukan sebagai putra di surga. Tentu saja, Yesus terus menjadi Putra Allah sewaktu dilahirkan sebagai manusia, sebagaimana ketika ia dalam eksistensi pramanusianya. Kelahirannya bukanlah hasil pembuahan melalui benih, atau sperma, seorang pria manusia keturunan Adam, melainkan melalui perbuatan roh kudus Allah. (Mat 1:20, 25; Luk 1:30-35; bdk. Mat 22:42-45.) Yesus menyadari kedudukannya sebagai putra Allah, karena pada usia 12 tahun ia mengatakan kepada orang tuanya di bumi, ”Tidakkah kamu tahu bahwa aku harus berada di rumah Bapakku?” Mereka tidak mengerti maknanya, mungkin berpikir bahwa dengan mengatakan ’Bapak’ ia memaksudkan Allah hanya dalam makna yang digunakan oleh orang Israel pada umumnya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.—Luk 2:48-50.
Akan tetapi, kira-kira 30 tahun setelah ia lahir sebagai manusia, ketika ia dibenamkan oleh Yohanes Pembaptis, roh Allah turun ke atas Yesus dan Allah berfirman demikian, ”Engkaulah Putraku, yang kukasihi; aku berkenan kepadamu.” (Luk 3:21-23; Mat 3:16, 17) Jelaslah Yesus, manusia itu, ”dilahirkan kembali” ketika itu untuk menjadi Putra rohani dengan harapan untuk kembali hidup di surga, dan ia diurapi roh untuk menjadi raja dan imam besar Allah yang terlantik. (Yoh 3:3-6; bdk. 17:4, 5; lihat YESUS KRISTUS [Baptisannya].) Pernyataan yang mirip dibuat oleh Allah pada transfigurasi di gunung, sewaktu Yesus dalam penglihatan tampak dalam kemuliaan Kerajaan. (Bdk. Mat 16:28 dan 17:1-5.) Mengenai kebangkitan Yesus dari antara orang mati, Paulus menerapkan sebagian Mazmur 2 kepada peristiwa itu, dengan mengutip kata-kata Allah, ”Engkaulah putraku; aku, hari ini, aku telah menjadi bapakmu,” dan ia juga menerapkan kata-kata dari perjanjian Allah dengan Daud, yakni, ”Aku sendiri akan menjadi bapaknya, dan dia pun akan menjadi putraku.” (Mz 2:7; 2Sam 7:14; Kis 13:33; Ibr 1:5; bdk. Ibr 5:5.) Melalui kebangkitannya dari antara orang mati kepada kehidupan roh, Yesus ”dinyatakan sebagai Putra Allah” (Rm 1:4), ”dinyatakan adil-benar sebagai roh”.—1Tim 3:16.
Maka jelaslah, sebagaimana Daud sebagai pria dewasa dapat ’menjadi Putra Allah’ dalam arti khusus, Kristus Yesus ’menjadi Putra Allah’ dalam cara yang khusus, pada waktu pembaptisannya dan pada waktu kebangkitannya, dan juga, pastilah, pada waktu ia menerima kemuliaan Kerajaan yang sepenuhnya.
Tuduhan palsu berupa hujah. Karena Yesus menyebut Allah sebagai Bapaknya, beberapa penentang Yahudi melancarkan tuduhan bahwa ia menghujah, dengan mengatakan, ”Engkau, meskipun seorang manusia, menjadikan dirimu suatu allah.” (Yoh 10:33) Kebanyakan terjemahan di ayat ini menyebutkan ”Allah”; terjemahan Torrey menggunakan huruf kecil ”allah”, sedangkan teks interlinear dari The Emphatic Diaglott menyebutkan ”suatu allah”. Dukungan untuk terjemahan ”suatu allah” terutama terdapat dalam jawaban Yesus sendiri, sewaktu ia mengutip Mazmur 82:1-7. Sebagaimana dapat diperhatikan, dalam ayat itu orang-orang tidak disebut sebagai ”Allah”, tetapi ”allah-allah” dan ”putra dari Yang Mahatinggi”.
Menurut konteksnya, mereka yang Yehuwa sebut ”allah-allah” dan ”putra dari Yang Mahatinggi” dalam mazmur ini adalah para hakim Israel yang berlaku tidak adil, sehingga mengharuskan Yehuwa sendiri menghakimi ’di tengah-tengah para allah demikian’. (Mz 82:1-6, 8) Mengingat Yehuwa menerapkan istilah-istilah itu kepada orang-orang tersebut, Yesus pastilah tidak mengucapkan hujah ketika ia mengatakan, ”Aku Putra Allah.” Perbuatan ”allah-allah” tersebut menyangkal kedudukan mereka sebagai ”putra dari Yang Mahatinggi”, sedangkan perbuatan Yesus justru secara konsisten membuktikan bahwa ia dalam persatuan, dalam keselarasan dan hubungan yang harmonis, dengan Bapaknya.—Yoh 10:34-38.
Wir verwenden Cookies und Daten, um
Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um
Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.
Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.
Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.
Penatua Jeffrey R. Holland menarasikan sebuah kisah tentang Musa
Tampilkan Bahasa Isyarat Saja
Hanya Bisa Download Publikasi