Raden Ajeng Kartini Adalah

Raden Ajeng Kartini Adalah

FOCUS June 2009 Volume 56

RADEN AJENG KARTINI PELOPOR EMANSIPASI WANITA

Raden Ajeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai RA Kartini adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita. Lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, RA Kartini merupakan putri dari keluarga bangsawan Jawa yang cukup terkenal. Sebagai seorang wanita yang lahir pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, RA Kartini mengalami keterbatasan dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk berkembang. Namun, RA Kartini tidak menyerah dan tetap berjuang untuk mendapatkan pendidikan serta memperjuangkan hak-hak wanita.

Sejak kecil, RA Kartini telah menunjukkan minat yang besar dalam bidang pendidikan. Ia belajar bahasa Belanda dari seorang guru swasta dan membaca banyak buku, termasuk buku-buku yang ditulis oleh para feminis Belanda. Dari situlah, Kartini mulai memiliki pandangan yang lebih luas tentang peran wanita dan hak-haknya. Pada usia 12 tahun, RA Kartini dijodohkan oleh keluarganya untuk dinikahkan dengan seorang bangsawan Jawa yang lebih tua darinya. Namun, RA Kartini menolak perjodohan tersebut dan meminta izin untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda. Meskipun awalnya ia ditentang oleh keluarganya, akhirnya Kartini berhasil meyakinkan ayahnya untuk memberinya izin.

Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah Belanda, RA Kartini bekerja sebagai guru di sekolah pribumi. Di sana, ia berjuang untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi wanita Indonesia. Ia juga membuka sekolah untuk perempuan, yang dikenal sebagai Sekolah Kartini, di mana ia mengajarkan bahasa Belanda, seni dan kerajinan, serta keterampilan lainnya.Tulisan-tulisannya yang dipublikasikan di surat kabar dan buku-buku yang ia tulis memperjuangkan hak-hak wanita dan kesetaraan gender. Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" merupakan salah satu karya Kartini yang terkenal, di mana ia menuliskan pemikirannya tentang pendidikan dan emansipasi wanita.

RA Kartini meninggal dunia pada usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun, akibat komplikasi persalinan. Namun, perjuangannya untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan kesetaraan gender telah memberikan pengaruh yang besar bagi Indonesia dan dunia internasional. Pada tanggal 21 April, Indonesia merayakan hari Kartini, sebagai penghormatan dan apresiasi atas perjuangan RA Kartini. Hari Kartini juga dijadikan sebagai momen refleksi dan inspirasi bagi semua orang, khususnya bagi wanita Indonesia, untuk mengembangkan potensi diri dan memperjuangkan hak-hak yang sama dengan laki-laki.

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjuangan dan karya RA Kartini, di antaranya:

Dalam rangka menghormati jasa-jasa RA Kartini, setiap tanggal 21 April di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini. Peringatan ini menjadi momentum untuk mengenang dan mempelajari kembali perjuangan serta karya RA Kartini, serta memperkuat semangat untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender dan kebebasan individu.

Sumber Gambar Dari Google.Penulis: Lusia Rahajeng

Wrote Letters to Holland

From 1900 to 1904 Kartini stayed home from school in according to the dictates of Javanese tradition; she found an outlet for her beliefs in letters she wrote in Dutch and sent to her friends in Holland. Kartini was unique in that she was a woman who was able to write; what set her apart even further was her rebellious spirit and her determination to air concerns that no one, not even men, were publicly discussing.

Kartini wrote to her European friends about many subjects, including the plight of the Javanese citizenry and the need to improve their lot through education and progress. She recounts how Javanese intellectuals were put in their place if they dared to speak Dutch or to protest. She also describes the restrictive world she lived in, rife with hierarchy and isolationism. In 1902 Kartini wrote to one letter, to Mrs. Ovink-Soer, that she hoped to continue her education in Holland so that she could prepare for a future in which she could make such education accessible to all women.

Kartini is most known for writing letters in which she advocates the need to address women's rights and status, and to loosen the oppressive Islamic traditions that allowed discrimination against women. She protests against education restricted to males of the nobility, believing that all Javanese, male and female, rich and poor, have the right to be educated in order to choose their own destiny. Women especially are not allowed to realize their calling. As Nursyahbani Katjasungkana commented in the Jakarta Post, "Kartini knew and expounded the concept that women can make choices in any aspect of their lives, careers, and personal matters."

Promoted Nationalist Movement

Fearful of losing control over their island territory, the Dutch colonialists believed that knowledge of European languages and education could a be dangerous tool in the hands of the native Javanese. Consequently, they suppressed the activities of the native people, keeping them as peasants and plantation laborers, while at the same time counting on the Javanese nobility to support them in their rule over the region. Only a few of the nobility, Kartini's father included, were taught the Dutch language. Kartini believed that once the Europeans introduced Western culture to the island, they had no right to limit the desire of native Javanese to learn more. Clearly, by the late nineteenth century there was talk of independence. With her letters and her egalitarian fervor, Kartini can be said to have started the modern Indonesian nationalist movement.

Kartini was not proud of being set apart from her countrymen as one of the privileged few of the aristocracy. In her writings she described two types of nobility, one of mind and one of deed. Simply being born from a noble line does not make one great; a person needs to do great deeds for humanity to be considered noble.

Akhir Hayat Raden Ajeng Kartini

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Mengutip e-book Sisi Lain Kartini oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono, dkk, tiga hari setelah pernikahannya, Kartini pindah ke Rembang untuk memulai hidup baru sebagai seorang ibu. Ia harus membagi waktu untuk suami dan anak-anaknya. Keluarga Bupati Rembang akan berkumpul kembali pada jam empat, dengan aktivitas yang berbeda.

Aktivitas keseharian Kartini mulai terhambat setelah mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit. Tanggal 13 September 1903, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Setelah melahirkan kondisi Kartini tampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.

Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah. Dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903, akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun. Kematian R.A. Kartini pun sangat mengguncang pikiran suaminya.

Raden Ajeng Kartini (1879-1904) is credited with starting the move for women's emancipation in Java, an island then controlled by Holland as part of the Netherlands Indies (now Indonesia). Born to the aristocracy, Kartini was privileged to be able to attend Dutch colonial schools, but was forced to quit at an early age due to Islamic law at the time. At the age of 24, she was married to a man twice her age who already had three wives. Kartini wrote letters to her friends in Holland protesting the treatment of women in Java, the practice of polygamy, and of the Dutch suppression of the island's native population. Decades later, the Indonesian state constitution promised gender equality to all its citizens, and Kartini Day continues to be celebrated on April 21 to commemorate Kartini's contribution to women's rights.

Kartini was born on April 21, 1879, in Mayong village near of Jepara, a town located in the center of the island of Java. She was born into the Javanese priyayi, or aristocracy; her father was Jepara mayor Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini was one of 12 children born to Raden's several wives.

Letters Ultimately Published

Kartini's legacy is found in the many letters she wrote to friends in Holland. In 1911 a collection of her Dutch letters was published posthumously, first in Java and then in Holland as Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk ("From Darkness to Light: Thoughts about and on Behalf of the Javanese People"). The book was then translated into several languages, including French, Arabic, and Russian, and in 1920 was translated by Agnes Louis Symmers into English as Letters of a Javanese Princess. In 1922 Armijn Pane finally translated the book into the Javanese language under the title Habis Gelap Terbitlah Terang ("After Darkness, Light Is Born"), which he based on a verse found in both the Bible and the Qur'an in which God calls people out of the darkness and into the light. More recently, Kartini's granddaughter, Professor Haryati Soebadio, re-translated the letters and published them as Dari Gelap Menuju Cahaya, meaning "From Darkness into Light."

Kartini's letters spurred her nation's enthusiasm for nationalism and garnered sympathy abroad for the plight of Javanese women. Syrian writer Aleyech Thouk translated From Darkness into Light into Arabic for use in her country, and in her native Java Kartini's writings were used by a group trying to gain support for the country's Ethical Policy movement, which had been losing popularity. Many of Kartini's admirers established a string of "Kartini schools" across the island of Java, the schools funded through private contributions.

Kartini's beliefs and letters inspired many women and effected actual change in her native Java. Taking their example, women from other islands in the archipelago, such as Sumatra, also were inspired to push for change in their regions. The 1945 Constitution establishing the Republic of Indonesia guaranteed women the same rights as men in the areas of education, voting rights, and economy. Today, women are welcome at all levels of education and have a broad choice of careers. Kartini's contributions to Indonesian society are remembered in her hometown of Jepara at the Museum Kartini di Jepara and in Rembang, where she spent her brief married life, at the Museum Kartini di Rembang.

Kartini Day Declared National Holiday

In Indonesia, April 21, Kartini's birthday, is a national holiday that recognizes her as a pioneer for women's rights and emancipation. During the holiday women and girls don traditional clothing to symbolize their unity and participate in costume contests, cook-offs, and flower arrangement competitions. Mothers are allowed the day off as husbands and fathers do the cooking and housework. Schools host lectures, parades are held, and the women's organization Dharma Wanita specially marks the holiday.

In more recent years criticism has arisen regarding the superficial observance of Kartini Day. Many now chose not to commemorate it, and it has increasingly been eliminated from school calendars. What saddens historians and activists is that Kartini has become a forgotten figure for the younger generation, who cannot relate to the achievements she wrought in a repressive society that is now almost forgotten. Historians have also debated the role Kartini herself played in promoting women's emancipation. Other than her letters, some have argued that she was a submissive daughter, feminine but not necessarily a feminist.

The film biography R. A. Kartini was produced to highlight her efforts to promote women's emancipation and education. Based on her published letters as well as memoirs written by friends, the film presents the two aspects of Kartini's life: her brief public life which had minimal effect, and her letters which, after her death, had profound influence on women all over the world. The film, written and directed by Indonesian filmmaker Sjuman Djaya, recreates Kartini's family life, ambitions, and the historical context of life under Dutch colonialism. Kartini is also remembered through businesses inspired by her vision. Kartini International, based in Ontario, Canada, advocates for women's education and rights, and won the 2000 Canadian International Award for Gender Equality Achievement for its work.

Kartini, R. A., Letters from Kartini: An Indonesian Feminist, 1900-1904, Monash Asia Institute, 1994.

—, On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903, Monash Asia Institute, 1995.

Palmier, Leslie, Indonesia, Walker & Co., 1965.

Jakarta Post, April 21, 2001; April 20, 2002.

Chaniago, Ira, "Raden Ajeng Kartini—A Pioneer of Women's Education in Indonesia," University of New England Web site,http://www.une.edu.au/unepa/Gradpost/gp_9.3web.pdf (December 23, 2003).

Discover Indonesia Online,http://indahnesia.com/Indonesia/Jawa/ (December 23, 2003).

Monash Asia Institute Web site,http://www.arts.monash.edu.au/mai/ (December 23, 2003).

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau acap disapa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih berbakti.

Kartini, melalui surat-surat yang dikirimkan ke sababat penanya  mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur mutlak yang diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan martabat bangsa Indonesia. Baginya, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.

Atas cita-cita dan perjuangannya melalui pemikiran-pemikiran itu Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 tentang Penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnya  yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah.  Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.

Putri kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjadi bupati pada usia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri Belanda.

Sifat progresif kakeknya yang memberikan pendidikan Barat pada putra-putranya, diwarisi oleh sang ayah Sosroningrat. Dia menyekolahkan semua anaknya ke Europese Large School, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Jawa yang tersohor.

Pada 1885 Kartini mulai bersekolah di Europese Large School (ELS). Di sekolah inilah untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya. Setamatnya di ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Semarang, di Hoogere Burgerschool (HBS). Kartini pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Namun, sang ayah tidak lagi memberi izin dan Kartini tak kuasa melawan.

Ia bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai ‘dalam penjara’. Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Justru, ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri.

Dalam masa pingitan tersebut Kartini mengasah pemikirannya dengan banyak belajar seorang diri. Sebab bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.

Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri. Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.

Stella Zeehandelaar, kawan pena Kartini, menyarankan kepada Ir. H. H. van Kol (anggota parlemen Belanda yang satu partai dengan Stella) agar mengunjungi putri-putri Bupati Sosroningrat. Ia menjelaskan bagaimana keinginan Kartini dan Roekmini (adiknya) untuk bisa belajar ke Belanda.

Pada 20 April 1902, van Kol yang didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, tiba di Jepara dan disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Bupati Jepara. Di sinilah kesempatan van Kol untuk berbincang dengan Kartini, sekaligus membicarakan beasiswa itu. Kartini diminta untuk segera membuat surat permohonan.Berkat peran Van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November 1902, Menteri Seberang Lautan A. W. F. Idenburg menyetujui untuk memproses beasiswa tersebut.

Kendati jalan sudah terbuka, tapi ia batal ke Belanda karena alasan politis. Alasan itulah yang menjadikan Kartini kembali memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengorbankan pamrih pribadi. Lantas, ketika beasiswa dari Belanda akhirnya benar-benar datang, Kartini menyarankan supaya Agus Salim yang berangkat.

Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi tak akan pernah terlaksana. Saat ia menunggu keputusan beasiswa dari Batavia, tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojoadhiningrat dari Rembang yang membawa surat lamaran untuk Kartini.

Kartini tak mampu menolaknya. Ia lantas menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan berbagai alasan, antara lain, di Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi seorang suami yang berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan. Ia pun resmi menjadi seorang istri dari duda yang telah memiliki tujuh anak dan dua orang selir.

Oleh MC Kab. Mempawah, Kamis, 27 April 2017 | 08:53 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 2K

Mempawah,InfoPublik – Lebih dari seabad lalu, Raden Ajeng Kartini wafat karena komplikasi saat melahirkan anak pertama.Salah satu pemicunya adalah preeklamsia, yang hingga kini masih menjadi penyebab utama kematian ibu hamil di samping infeksi dan pendarahan.

Terbatasnya teknologi medis saat itu membuat pahlawan nasional asal Jepara ini meninggal muda di usia 25 tahun. “Ironisnya, hingga kini Angka Kematian Ibu atau AKI ternyata terhitung masih tinggi padahal kondisi teknologi dan ilmu pengetahuan makin berkembang,” kata Sekretaris Daerah Mochrizal di sela Peringatan Hari Kartini di Aula Kantor Bupati Mempawah, akhir pekan lalu.

Mochrizal menyebut derajat kesehatan keluarga sangat ditentukan oleh kondisi hidup sehat seorang ibu. Ia menuturkan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas adalah masa yang sangat penting untuk menentukan mutu kesehatan ibu dan anak selanjutnya. “Masa-masa tersebut merupakan masa yang rentan bagi para ibu dan dapat mempengaruhi tumbuh-kembang anak,” ujarnya.

Menurutnya, ketika seorang anak terlahir ke dunia, apakah anak tersebut akan menjadi anak yang sehat atau anak yang rentan terhadap penyakit sangat ditentukan oleh kesehatan ibu pada masa-masa kehamilan dan berlanjut saat menyusui.

Karena itu, ia menyebut sehat mulai dari janin dalam kandungan, anak balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia juga perlu diupayakan. Hal itu mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai keadaan sehat. Mochrizal menegaskan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya tidak mungkin dicapai hanya oleh sektor kesehatan. “Karena kesehatan bersifat multidimensi, multidisiplin, dan multisektor sehingga pembangunan kesehatan memerlukan dukungan berbagai sektor terutama dari keluarga,” tuturnya.

Keluarga, Mochrizal meneruskan, merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menyediakan kebutuhan seluruh anggotanya. Seperti pendidikan dan budi pekerti, kasih sayang, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.

“Artinya keluarga merupakan fundamental bagi pembangunan manusia sekaligus barometer kesejahteraan masyarakat pada umumnya,” ucapnya menerangkan. (MC.Mempawah/Rio/Eyv)

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id

Raden Ajeng Kartini merupakan pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Ia yakin bahwa kaum perempuan diciptakan sama dengan kaum laki-laki dan hanya berbeda dalam bentuk fisik. Maka Kartini berpendapat bahwa pendidikan tidak perlu menjadi hak istimewa kaum pria. Selain itu ia juga memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat jelata pada umumnya.

Kartini memang sosok yang gigih dalam memperjuangkan hak perempuan. Bahkan, kisah R.A. Kartini banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah. Berikut ini informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu.

Raden Ajeng Kartini: Indonesia's Feminist Educator

Raden Ajeng Kartini is hailed as Indonesia's first feminist. April 21, the day of her birth, is celebrated as "Hari Ibu Kartini" (Kartini Day). She is seen as the symbol of Indonesian women's emancipation.[1]

Kartini was born on 21 April 1879, in a village called Mayong in the town of Jepara, North Central Java to an aristocrat family. She is the daughter of Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, the Regent of Jepara. She went to a primary school, along with her brothers, for the children of Dutch planters and administrators. Other girls from aristocratic families did not receive the same formal education she obtained.[2] But under the old Javanese tradition of pingit, she was kept in seclusion at home until marriage upon reaching the age of twelve years.

Seclusion from twelve years of age until marriage did not stop Kartini from aspiring for further education. During her period of seclusion she wrote letters to many friends abroad, read magazines and books, and rebelled against the strong tradition of gender discrimination.[3] Her father gave her books on Javanese culture to "balance her western education and subscribed to a Literary Box, a box of magazines, children's books, modern novels and foreign news, which was changed every week by a local library."[4] In 1892, when she was twelve years old, Kartini made friends with the wife of the new Dutch officer appointed as Assistant Resident of Jepara, Mevrouw Ovink-Soer. Mevrouw was "highly cultured, had published a number of magazine articles," and later wrote a book entitled Women's Life in a (Javanese) Village. She was also a fervent socialist and fervent feminist.[5] One account says that the Dutch people who supported her desire to be educated and to search for new kind of education for herself were proponents of the then new colonial policy called "Ethical Policy" that emphasized[6]

Her father, a Javanese official serving the Dutch colonial government as a local administrative head on the north coast of Java, introduced her and her sisters to the reality of life for the people whom he governed, to the world beyond the then Dutch East Indies, besides exploring the intricacies of their own rich cultural heritage. He took his daughters to meet the villagers during times of crisis and celebration.[7]

She obtained a scholarship to study in Holland, a desire she worked to achieve for quite some time, but family pressure led her to ultimately reject it. She did not want marry but she consented to be the fourth wife of the Regent of Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, a man twenty-five years her senior. She died on 17 September 1904 after giving birth to a child a year after her marriage. She passed away at the young age of twenty-five. Prior to her death, Kartini founded a school for young girls.

In 1903, Kartini obtained permission to open in her own home in Rembang the first ever all-girls school, for daughters of Javanese officials. She created her own syllabus and system of instruction. The school aimed at the "character development of young women, while at the same time providing them with practical vocational training and general education in art, literature and science."[8] It was also a school that was both Western and Indonesian. By 1904, the school had one hundred twenty students.[9]

Kartini realized that the education she obtained that widened her choices in life should also be enjoyed as a right by all of her people. Influenced by Dutch feminists, Kartini wrote passionately for the improvement of education, public health, economic welfare, and traditional arts in her country.

She wrote in January 1903 a memorandum about education entitled Give The Javanese Education! addressed to an official of the Dutch Ministry of Justice.[10] She emphasized the need to educate the women for the development of society. She wrote:

xxx xxx xxx

She further wrote about the need for the formal education of the girls of the noble class:

She pointed out that given the resources and the Javanese population of twenty-seven million, educational policy should first be directed to elite women who could then open schools for the rest of the "masses." [11] She wrote:

She also explained that the purpose of formal education is not merely to learn the Dutch language. She argued

She criticized the Javanese culture's hierarchical nature, where younger siblings had to serve older ones and where norms dictated elaborate rituals of hierarchy. [12]

She also criticized the nobility by writing thus:

Kartini wrote many letters that were later published in Holland in 1911 in a book entitled Through Darkness into Light, and became a bestseller. It had four editions until 1923.[13]

She also wrote about her own Javanese society and the suffering of the rural poor, and the practice of polygamy.

Overall, she wanted to alter the relations between Indonesians and the Dutch a decade before the flowering of the nationalist movement. Thus, the desire to modernize her country and access the language of knowledge could be interpreted as a "nationalist" move.[14]

In her preface in the 1960s book Letters of a Javanese Princess, a collection of Kartini's letters, Eleanor Roosevelt wrote:

In present-day Indonesia, Hari Ibu Kartini or Kartini Day is seen as an "important event in the school calendar, often providing the setting in which students can explore Indonesian history, the roles of women in society, families and the rich cultural diversity of Indonesia....[and p]erhaps most importantly, it is for educators seeking to nurture the independence and self esteem of children in their care.[15]

Kartini lived a short life of twenty-five years and yet she left a legacy that supported the rights of Indonesian women in particular, and national identity in general. In the context of the remaining many challenges facing Indonesian women today, Kartini provides an inspiration to the continuing effort to overcome them.

1.Susan J. Natih,"Kartini, her life and letters,"The Jakarta Post, 21 April 2005.

2.Kumari Jayawardena, Feminism and Nationalism in the Third World (London and New Jersey: Zed Books Limited, 1994), page 141.

3.Bebeth, "Raden Ajeng Kartini, Are We Really Free?," Just About Anything, 21 April 2005,

http://bebeth009.blogspot.com/2005/04/raden-ajeng-kartini-are-we-really-free.html

5.Hilda Geertz, editor, Letters of a Javanese Princess ? Rada Adjeng Kartini (New York: W.W. Norton and Company, 1964), page 8.

8.Geertz, op cit., page 23.

9.Jayawardena, op. cit., page 145.

10.In Letters from Kartini: An Indonesian Feminist 1900-1904, translated by Joost Cote (Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, 1992).

11."Southeast Asian Politics, Non- fiction, Javanese Education," Women in World History, available in www.chnm.gmu.edu/wwh/p/114html

12.Southeast Asian Politics, Non-fiction, Javanese Education, ibid.

13.Geertz, op cit., page 23.

14."Southeast Asian Politics, Non-fiction, Javanese Education," op. cit.

SETIAP tanggal 21 April, Indonesia memperingati hari ini sebagai Hari Kartini. Peringatan itu menjadi tonggak perjuangan emansipasi perempuan.

Perjuangan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak bekerja, belajar, dan berkarya seperti laki-laki itu tidak lepas dari sosok Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat.

Sosok perempuan asal Jawa yang lebih dikenal dengan gelar Raden Ajeng Kartini ini lahir dari keluarga priyayi atau bangsawan pada 21 April 1879 di Jepara, Hindia Belanda.

Baca juga : Perjalanan Emansipasi Wanita: Dari Kartini Hingga Masa Kini

Kartini memiliki sejarah kisah yang inspiratif tentang seorang perempuan Jawa yang memperjuangkan hak pendidikan, kesetaraan gender, dan hak-hak perempuan di masa kolonial Belanda.

Selama perjalanan hidupnya, RA Kartini banyak berjasa dalam memajukan kehidupan perempuan Indonesia, khususnya perjuangannya membuka akses pendidikan bagi para perempuan agar tidak tertinggal. Namun, rupanya Kartini menghadapi hambatan karena perempuan Jawa saat itu tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan tinggi.

Meski demikian, Kartini berupaya memperoleh ilmu atau pengetahuan dengan membaca buku dan menulis surat.

Baca juga : Daftar Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia

Surat Kartini kemudian dimuat di sebuah majalah Belanda. Dalam suratnya, ia menggambarkan kehidupan perempuan Jawa dan memperjuangkan hak atas pendidikan serta kesetaraan gender. Karya RA Kartini yang terkenal ialah berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang."

Selain itu, Kartini juga memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk hak mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki. Ia juga mendirikan sekolah khusus perempuan yang mengajarkan membaca, menulis, kerajinan tangan, dan memasak di Jepara.

Perjuangan untuk pendidikan perempuan terus berkembang. RA Kartini menjadi perempuan pertama yang mendirikan perkumpulan dan memajukan pendidikan perempuan.

Baca juga : Semangat Kartini Harus Dorong Pencapaian Target Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan di Tanah Air

Sampai pada usianya yang ke 24 tahun, RA Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang pada 12 November 1903. Setelah menikah, RA Kartini pindah ke Rembang bersama suaminya dan malakukan perannya sebagai istri sekaligus guru.

Namun, aktifitas keseharian RA Kartini mulai terhambat ketika mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit.

Setelah melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, RA Kartini diketahui kembali sehat. Sayangnya, pada 17 September 1904 Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun. Meski demikian, semangat dan perjuangannya dalam memajukan perempuan Indonesia masih sangat terasa hingga kini.

Baca juga : Yuk Teladani Sikap Raden Ajeng Kartini

Setelah wafat, Kartini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno pada 2 Mei 1964 melalui keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964.

Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini 21 April sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasa RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia.

Selamat Hari Kartini! (Z-3)

%PDF-1.2 %âãÏÓ 44 0 obj << /Linearized 1 /L 3909015 /H [ 768 188 ] /O 47 /E 459673 /N 8 /T 3908091 >> endobj xref 44 11 0000000016 00000 n 0000000593 00000 n 0000000648 00000 n 0000000956 00000 n 0000001091 00000 n 0000001177 00000 n 0000001300 00000 n 0000001320 00000 n 0000459517 00000 n 0000000768 00000 n 0000000936 00000 n trailer << /Size 55 /Prev 3908081 /Info 43 0 R /Root 45 0 R /ID[] >> startxref 0 %%EOF 45 0 obj << /Type /Catalog /Pages 46 0 R >> endobj 46 0 obj << /Type /Pages /Kids [ 47 0 R 1 0 R 7 0 R 13 0 R 19 0 R 25 0 R 31 0 R 37 0 R ] /Count 8 >> endobj 53 0 obj << /Length 54 0 R /S 84 /Filter /FlateDecode >> stream xœc```c``f –ÿa bs 1#3³xó­~¦¿¿™—19=cŠ Jà‡°Ù`ÌÀ 2¯˜�Á‰�!$ø÷ ÐF >œ¾ endstream endobj 54 0 obj 82 endobj 47 0 obj << /Type /Page /Parent 46 0 R /MediaBox [ 0 0 417.600 638.208 ] /Resources 48 0 R /Contents 49 0 R /Tabs /S >> endobj 48 0 obj << /ProcSet [ /PDF /Text /ImageC ] /XObject << /im1 51 0 R >> >> endobj 49 0 obj << /Length 50 0 R /Filter /FlateDecode >> stream xœ+ä514×330P A3c=#0;9W�W?3×PÁ%Ÿ7P� «IY endstream endobj 50 0 obj 43 endobj 51 0 obj << /Type /XObject /Subtype /Image /Name /im1 /Length 52 0 R /Width 1450 /Height 2216 /BitsPerComponent 8 /ColorSpace /DeviceRGB /Filter /DCTDecode >> stream ÿØÿà JFIF ú ú ÿÛ C %# , #&')*)-0-(0%()(ÿÛ C (((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((ÿÀ ¨ª" ÿÄ ÿÄ µ } !1AQa"q2�‘¡#B±ÁRÑð$3br‚ %&'()*456789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyzƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚáâãäåæçèéêñòóôõö÷øùúÿÄ ÿÄ µ w !1AQaq"2�B‘¡±Á #3RðbrÑ $4á%ñ&'()*56789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyz‚ƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚâãäåæçèéêòóôõö÷øùúÿÚ ? ú•þñ¦Ò¿Þ4•ÊETË`ºuÁ¨ªF\ÓYqÒ ÐmQM23Žô݃ޅQøŠu WšNzÔ§ô¨�^+D•èi)û~_zM§¦9¦h¥4¼wÍò¡´ížôÚvMÊ…þ‚•[4ÀxÀ |§š $ÈõS6üÝ)ç¥ 1ºƒŒR«dóMÏ_ZQŒq÷¨ùçÕêI ´Ë{PLvNE- c¥:›E QE QE ½³H: \ÒÑa1£�lQE�ö¥ö¤¥ïÅGp#hœŠ ÏZ@; ÑlH¤“ÖŽ”GZSŽ1Y½ÊŽãjQÐT} 9ú ÷óÆ3@è;Rõ¤_½@…Ô/¿zq8¤þ!@ ~´åÆ8¦¿ZËÏj ’ŠjœÓ«E° ’iW8æŒRÐIÀJA÷š‡°¤á… õéB÷ô¬ÀuQWЊ(¢; QEÀBq�N”´Q@Q@Q@Q@Q@Q@“ÜšXúÓ�£"œ SHÇ šgßö4%À˜È¤�ï~%Q@Q@Q@¡¢Š Ž>§Ò¤¢Š (¢Š (¢Š (†‘þé¨Óï –Š( Š2=EìEdzŠ@QE QEh€(¢Š`QEO(QTEPEPEPEPEPEPEPEPEPEP)È¥¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š (¢Š †ŠWûÆ’¹€(¢Š (¢Š‰-†À4Ê{uÜ)¼j‘‰E.=9¤­èqÖ›·#'­:Š`QIœät œäŠLt Œ“IŒsž´ QHnäâ€1SÊ�’=iH#­Ö€2µP $T„ã­1W#4ÇS@;ˆ¤Ç_jJrãœÐ·f§gŒÓAÚzæ�—4 à0(¦îù½©Ä�Ö€ (( O`§Sh ˜îSI!‡¥:‚žÁEPfRƒšZ )AÀ>ô”c@äsE¥ éWÐ¥ O R¯B)C|Ÿ¥@¥ÉÆ)( œP>é¦ÐÁù 7$ŒRQ@Nµ%D õ§†µhQE')½€fï›4ðr)¤Ž”ÓÁàÖ`9~ù¥9íMå©Y» µ°G8%7p€¿6iè©¡ œQ÷–€[+ƒO_»LèF})Ksí@”´ÅÀÏ4úŠ( AEPEPEPEPEP©÷E-F­ŽJ“#ÔPMaòœ p ô4×?) êD#¦j:(j)™ýß^i#êhJ(¢€ (¢€ (¢€ (¢€ (¢€ (¢€ÛëEPEP55‚Š *šŒA@QZ (¢˜QS (¢ˆ€QE@QE QE QE+  (¢˜Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@Q@hÍFùÁ\àžô 0P¹Éõ ÑE QE QE QE QE QE QE QE QE QE QE ¯÷�%s QE QE #D!èj*”ô4ÆàŠ‘�¢Š( £bŠ+E°žÂ/ÝÇb­Å

Pemikiran Raden Ajeng Kartini

Mengutip artikel Sejarah R.A.Kartini oleh Universitas Pakuan, pahlawan nasional tersebut banyak menulis surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.

Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti yang tertulis dalam Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht,

Zelf-vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.

Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud itu, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.

Itulah tadi informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu. Tentu warisan semangat pahlawan nasional ini harus diteruskan oleh generasi sekarang.

Baca Juga: 10 Poster Hari Kartini 2024, Menginspirasi dan Menarik!